Resensi Buku Edisi 6



Judul      : Thousand Cranes (Seribu Burung Bangau)
Penulis   : Yasunari Kawabata
Penerbit : Immortal Publishing
Terbit      : 2018
Tebal       : vi+166 halaman

“ Ia berilusi betapa gadis Inamura, tengah melangkah di bawah bayangan pepohonan, menjinjing saputangan merah muda berhias seribu bangau putih. Ia bisa melihat burung-burung bangau dan saputangan itu dengan jelas.”

Seribu burung bangau merupakan novel yang berkisah tentang hasrat, penyesalan, dan kenangan. Seluruh kisahnya terbalut dalam ritual upacara minum teh yang disampaikan secara khas dan lembut oleh Yasunari Kawabata. Pertama kali terbit pada tahun 1952 dengan judul asli Senbazuru dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Seidensticker pada tahun 1958 yang membantu menyebarkan ketenaran Kawabata ke luar negeri.

Bercerita tentang seorang bujangan bernama Kikuji yang telah menjadi yatim piatu sejak usia 20an, dan kini usianya telah menginjak 25 tahun, selayaknya sudah menikah dan berumah tangga. Kikuji Mitani bukan seorang pengangguran. Dikatakan dia bekerja di sebuah perusahaan dan mengenakan pakaian Eropa setiap bekerja. Perjalanan bertemu dengan wanita yang dahulu menghubungkan dengan masa lalu ayahnya dan pencarian jodohnya dimulai dari upacara minum teh yang dilaksanakan oleh Chikako Kurimoto, ibu tirinya, untuk mengenang almarhum ayahnya.

Adalah Chikako yang mengatur pertemuan dengan seorang gadis keturunan keluarga Inamura, yang juga dekat dengan ayah Kikuji. Gadis Inamura itu adalah murid upacara minum teh Chikako. Kikuji terpesona akan penampilannya pada pandangan pertama, terutama pada seribu burung bangaunya yang merupakan sebuah saputangan. Namun di saat bersamaan, datanglah Ny. Ota yang merupakan wanita simpanan ayahnya bersama dengan anaknya, Fumiko Ota. Chikako dan almarhumah ibunya dulu selalu bersekongkol untuk menjauhkan Kikuji dari keluarga Ota dan menyebarkan racun tersebut hingga mendarah daging setelah kematian ayahnya. Namun bagi Kikuji hal tersebut entah mengapa lebih membuat Kikuji penasaran terhadap Ny. Ota dan merasa sifat yang terlalu lama menerima keadaan sehingga terkesan lemah dan tidak bisa melawan serta harus dilindungi.

Mulailah intrik di antara Kikuji, Chikako, gadis Inamura, Ny. Ota, dan Fumiko Ota. Sayangnya, kisah cinta Kikuji tidak berakhir layaknya telenovela karena kentalnya kenangan yang berkelindan di antara Kikuji dan Ny. Ota yang saling membayangkan masa lalu dan bertemu dalam figur Tuan Mitani. Hingga akhirnya Ny. Ota mati karena bunuh diri menahan rasa bersalah yang besar membawa serta rasa kehilangan akan sosok keibuan yang sempat dicintai Kikuji. Sampailah tiga perempat buku menceritakan tentang cinta segitiga antara Kikuji, gadis Inamura, dan Fumiko Ota dengan tokoh makcomblang Chikako.

Kikuji dan Fumiko sama-sama memiliki masa lalu yang membuat adanya hubungan aneh di antara mereka. Hasrat saling mencintai yang terbatas oleh tembok tinggi bernama penyesalan atas masing-masing orangtua mereka karena memiliki hubungan terlarang yang sayangnya disyukuri oleh Kikuji namun menjadi kenangan yang sangat memalukan bagi Fumiko hingga dirinya ingin membuang dan menghapus kenangan serta ikatan di antara mereka selamanya. Sedangkan dengan gadis Inamura yang walaupun Kikuji tertarik dengan paras dan kelembutannya namun ia sangat membenci bagaimana Chikako, yang juga wanita simpanan ayahnya semasa hidup, melumurinya dengan racun agar mengikat takdir dengan gadis Inamura dan membenci keluarga Ota membuatnya sangat tersiksa dan ingin keluar dari jerat wanita yang ia anggap monster.

Di akhir kisah, perjalanan cinta mereka bertiga tidak bertemu satu sama lain. Ketika Chikako mengabarkan bahwa kedua wanita itu telah menikah seketika hati Kikuji hancur bersamaan. Namun secara tidak disengaja, Fumiko menghubungi Kikuji dan akhirnya mereka bertemu dan barulah diketahui bahwa Chikako berbohong. Kikuji tidak mencari tahu bagaimana soal gadis Inamura, apakah berlaku pula kebohongan itu atau tidak. Sedang Fumiko tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikahi Kikuji walaupun tersirat hasrat mencintainya, lagi-lagi terbayang masa lalu yang ia anggap kutukan abadi. Hingga akhirnya ia bersama Kikuji melaksanakan upacara minum teh terakhir di kuil milik ayah Kikuji dengan mangkuk pasangan yang dulunya kerap dipakai Tuan Mitani dan Nyonya Ota dan berakhir dengan Fumiko memecahkan mangkok berusia 300 tahun dengan sengaja dengan asumsi agar terputusnya ikatan yang berkelindan.

Kikuji setelah insiden itu tetap berusaha mencari Fumiko yang secara tiba-tiba menghilang dari peradaban. Ia menemukan rumahnya dari mencari di tempat kerjanya. Tidak bertemu dengannya. Mengakhirinya dengan ketakutan jika Fumiko akhirnya bunuh diri seperti ibunya sambil membawa rasa hasrat, penyesalan, dan kenangan yang mencekik hingga akhir hayatnya.

Buku ini mampu menyajikan cerita dengan sangat lembut dan alur yang sangat indah seperti upacara minum teh yang terlihat sangat natural. Perpaduan dan peralihan kebudayaan Jepang di masa itu tergambar jelas dari bagaimana Kawabata menyebutkan masih sakralnya upacara minum teh sebagai sebuah kebiasaan dan upacara sakral serta penyebutan baju Eropa sebagai baju sehari-hari dan baju kerja yang akhirnya mulai diterima masyarakat Jepang. Bagaimana menceritakan keseharian dengan kimono dan penggunaan telepon sebagai penyambung komunikasi, serta penyebutan berbagai macam mangkuk berusia ratusan tahun yang terkenal karena membawa nilai historis kultural yang amat kental. Walaupun novel ini terhitung sangat tipis, namun cerita yang disuguhkan sangat padat dan tidak bercelah. Semua hal yang perlu disampaikan untuk membentuk alur yang hidup tersuguhkan dengan apik. Cerita yang luar biasa. Tak ayal jika akhirnya Yasunari Kawabata, salah satunya melalui buku ini, mampu menyabet penghargaan tertinggi Nobel di bidang Sastra pada tahun 1968.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 1