Resensi Buku Edisi 3

Judul     : Daring Greatly
Penulis  : Brene Brown
Tebal     : 287 halaman
Penerbit : Gotham Books
Terbit     : 2012

Terkadang, berlagak kuat di depan kamera adalah satu-satunya senjata yang tersisa untuk mempertahankan harga diri saat seseorang tidak lagi memilikinya. Berbagai wajah yang ditunjukkan, menutupi apa yang disebut rasa malu terbesar sebagai batu yang menghalangi tercitranya jati diri asli seseorang. Berusaha terlihat sempurna adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti rasa cukup. Semua berujung pada tidak mampunya menghargai diri sendiri dan bertindak berani. Dari buku ini, semua terjawab bagaimana seharusnya kita melihat ke dalam diri.
Banyak mitos yang tersebar di sekitar kita. Termasuk kultur yang menilai bahwa perasaan terluka, lemah, dan malu adalah termasuk dalam kelemahan manusia yang harus dijauhi dan tidak boleh ditunjukkan apalagi dikenali. Padahal sejatinya, dari perasaan itulah kita dapat belajar untuk menghargai diri. Tidak ada salahnya ketika kita mudah merasa terluka, lemah, dan malu. Justru, ketika kita mampu berdamai dengan ketiga hal tersebut, yang dianggap tabu, maka kita akan mencapai konsep tertinggi dalam memahami diri dan kemudian berani melakukan hal besar, karena seseorang yang tidak bisa menghargai dirinya sendiri tidak mungkin akan dapat melangkah ke capaian selanjutnya karena kemudian apa yang dilakukannya adalah hal yang fana, semuanya tidak betul-betul merepresentasikan dirinya. Dan jelas, pihak pertama yang akan selalu tersakiti adalah dirinya sendiri. Kemudian diri akan menutupinya dengan sikap mengabaikan rasa senang, perfeksionis, dan berlagak mati rasa (kebal dan ekpresi rasa bodo amat).
Di dalam buku ini, kita bukan sekedar membaca larik-larik tulisan. Tapi penulis seolah mengajak kita dalam perjalanan mengenal diri dengan tujuan akhir adalah mampu menghargai diri sendiri, melepaskan senjata dan baju zirah yang telah berpuluh tahun digunakan. Menunjukkan warna asli kita pada dunia dan dari siana kita dapat melakukan hal besar tanpa terbebani 3 sikap yang menjadi racun kehidupan. Karena pada akhirnya yang kita jalankan membawa perasaan senang, karena bukan berarti perasaan senang melakukan sesuatu akan didapat hanya dari hal yang remeh temeh dan akhirnya tidak bermakna. Justru dari melakukan hal yang menyenangkan kita dapat mensyukuri atas apa yang ada di sekitar kita.
Kedua adalah berdamai dengan ketidak sempurnaan. Manusia pada dasarnya tercipta sebagai makhluk yang sempurna dengan akal sehat yang diberikan Tuhan kepada kita. Namun bukan berarti kita harus menjadi sosok yang sempurna tanpa memiliki kekurangan sama sekali. Terkadang kita justru terjebak dalam penjara perfeksionis. Berusaha melakukan sesuatu secara sempurna dan menjadi frustasi ketika akhirnya tidak sesempurna rancangan awal dan akhirnya menyalahkan diri sendiri. Padahal dari merasa dan menyadari kekurangan kita dan menunjukkannya pada orang lain, maka kita telah berkompromi pada diri dan dari sana kita dapat melangkah menuju tangga yang lebih tinggi dengan memaksimalkan potensi dan mengurangi kelemahan kita. Definisi ini jelas berbeda dengan menutupi kelemahan.
Terakhir, sikap mati rasa. Kita sering menutupinya dengan menjadi pecinta kesibukan. Berusaha agar tidak ada waktu yang terbuang yang akan membuat kita meratapi diri dan menyalahkan diri. Kebal terhadap rasa mudah terluka menumpulkan perasaan cinta, senang, ketergantungan, kreatifitas, dan empati. Praktisnya, seseorang menjadi sulit mengekspresikan diri. Dari sikap ini, seseorang menjadi terputus hubungannya dengan individu yang lain karena tidak ada lagi yang menghubungkan di antara mereka. Ketika seseorang mampu menunjukkan perasaan, emosi sejatinya, ia akan dengan mudah membangun koneksi dan terjalinnya hubungan dengan orang lain yang terkadang diwujudkan karena memiliki luka yang sama, pengalaman memalukan yang sama, dan kelemahan yang sama. Bukan untuk ditutupi, tapi untuk belajar dari ketiga hal tersebut dan mengambil langkah besar untuk menuju bagian hidup selanjutnya.
Dengan bahasa yang sangat mudah untuk dipahami, bahkan dalam versi aslinya, Brene Brown mampu menjelaskan teori yang telah berkembang dipadukan dengan pengalaman pribadinya dan riset yang telah ia lakukan tanpa membebani pembaca. Buku yang sangat nyaman untuk dibaca oleh segala usia. Ditambah dengan penggunaan font yang dengan uniknya menunjukkan bagian penting yang ingin ditekankan oleh penulis. Seolah kita terhipnotis oleh cerita diri penulis, padahal di waktu yang sama kita juga mengenali diri sendiri dan mulai termotivasi untuk membuka tabir yang menjadi apa yang kita tunjukkan pada publik selama ini.
“It is not the critic who counts; not the man who points out how the strong man stumbles, or where the doer of deeds could have done them better.
The credit belongs to the man who is actually in the arena, whose face is marred by dust and sweat and blood; who strives valiantly; who errs, who comes short again and again,
because there is no effort without error and shortcoming; but who does actually strive to do the deeds; who knows great enthusiasms, the great devotions; who spends himself in a worthy cause;
who at the best knows in the end the triumph of high achievement, and who at the worst, if he fails, at least fails while daring greatly.…” —Theodore Roosevelt

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1