Resensi Buku Edisi 4

Judul      : Dengarlah Nyanyian Angin
Penulis   : Haruki Murakami
Peneribit : Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
Terbit      : 2008
Tebal      : iv + 147 hlm; 11,5 cm x 19 cm

Dengarlah Nyanyian Angin, adalah novel pertama Haruki Murakami yang ditulis pada tahun 1979 dan pada tahun 1981 diangkat ke layar lebar. Ketika membaca novel ini, kita akan dikembalikan pada masa 1979 yang menariknya, di Jepang, terjadi pergeseran budaya tradisional dan modern utamanya pada kaum remajanya. Dua tokoh utama bernama “Aku” dan Nezumi (artinya tikus) akan menemani perjalanan cerita di dalam novel ini.
Tokoh “Aku” merupakan seorang laki-laki yang biasa saja, tidak terkenal di antara teman-temannya, cara bicaranya aneh, menyenangi novel karya seorang penulis Amerika yang sudah meninggal yaitu Derek Hearthfield (ketika ditanya alasannya karena Dia merasa bisa memaafkan orang-orang yang sudah meninggal), suka mendengar piringan hitam The Beach Boys, pernah berpacaran sebanyak 3 kali yang ketiganya memiliki cerita tragisnya masing-masing, dan tiap jam 21.00 harus menyemir sepatu ayahnya.
Pada saat kecil, ibunya pernah membawa ke seorang psikiater karena dia sangat pendiam dan tidak pernah mengeluarkan satu kata pun. Sang psikiater memberikan dorongan besar dengan mengatakan bahwa ‘tidak segala hal dapat dijelaskan tanpa kamu berkata-kata, maka suarakan isi hatimu’. Kemudian selesai sesi tersebut (beberapa kali sesi dilakukan) tokoh “Aku” malah menjadi cerewet dan kata-katanya mengalir seperti laju kereta yang tidak bisa dihentikan. Pada saat dewasa, akhirnya bisa lebih normal dengan cara bicara yang menurut beberapa orang aneh.
Sedangkan tokoh Nezumi digambarkan seorang wanita yang kritis dengan cara bicara yang tegas, keras, berasal dari golongan orang kaya namun membenci kekayaan termasuk orang kaya (sehingga ketika tokoh “Aku” bertamu di rumahnya mereka bercengkrama di sofa tua yang diletakkan di garasi mobil), tidak suka membaca namun pada akhirnya terpaksa membaca buku.
Mereka berdua dipertemukan pada sebuah malam di Jay’s Bar yang terletak di dekat pesisir pantai yang menjadi tempat favorit tokoh “Aku” menghabiskan sore atau malamnya (kadang siang juga) selama liburan musim panasnya. Ketika itu Nezumi mabuk berat dan menabrak pagar taman kota.
Dalam gaya khas bercerita Haruki Murakami, kita akan bertemu peristiwa yang hilang timbul dan membuat harus berpikir menyatukan alur yang dapat menjelaskan jalan cerita di dalam novel ini. Diceritakan bagaimana tokoh “Aku” berpacaran dengan tiga perempuan di mana yang ketiga kemudian akan ditemukan mati di tengah hutan secara gantung diri.
Ketika itu juga tokoh “Aku” bertemu dengan pacarnya di Jay’s Bar dalam keadaan mabuk berat dan terpaksa mengantarkan ke apartemennya namun berakhir pada rasa curiga dan marah sang perempuan karena mendapati tokoh “Aku” yang tidur di sebelahnya saat bangun dari mabuknya. Namun kemudian mereka terjebak pada rasa nyaman setelah secara tidak sengaja tokoh “Aku” membeli piringan hitam di toko yang dijaga oleh si perempuan dan mereka terlibat dalam pertemuan-pertemuan kecil berikutnya hingga akhirnya menyatakan rasa cintanya satu sama lain.
Menariknya adalah, pada kalimat pembuka di buku ini Haruki Murakami seolah telah mengabarkan kepada calon pembacanya untuk jangan mengharapkan kesempurnaan dari karyanya tersebut. Namun menurut saya, karya ini adalah karya yang luar biasa karena yang perlu kita syukuri adalah bagaimana sang alih bahasa menerjemahkan buku Haruki dengan sangat baik sehingga kita dapat menikmati karya sastra yang luar biasa ini secara baik pula.
Dari buku ini, beberapa pembaca merasa mendapatkan tokoh idola baru yaitu Derek Hearthfield yang sayangnya kemudian diketahui adalah tokoh fiktif. Padahal, jika dibayangkan karya yang ditulisnya adalah karya-karya besar dengan pemikiran kematian tanpa seorang pun tau, dan akhirnya mati bunuh diri melompat dari Empire State Building dengan memegang foto Hitler di tangan kanan dan payung hitam di tangan kiri.
Pembaca akan dipaksan menyelesaikan buku ini dalam sekali lahap karena ceritanya yang mengandung banyak pertanyaan sembari membuka halaman ke halaman. Tapi akhirnya banyak pertanyaan yang tersisa setelah selesai membaca buku ini. Mungkin respon yang berbeda dari tiap pembaca akan terjadi. Marah, kesal, sedih, kecewa, atau menangis. Tapi tidak bisa kita anggap novel ini gagal. Justru sangat berhasil dengan luar biasa. Karena seperti kata Hearthfield dalam sebuah sesi wawancara fiktif, ‘Buat apa membuat novel yang isinya sudah diketahui semua orang’. Jadi, jika tertarik, selamat membaca buku ini. Selesai membacanya, silakan membaca buku Norwegian Wood yang akan membahas soal kematian pacar “Aku” nomor tiga yang gantung diri di tengah hutan. (alifindira)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1