Resensi Buku Edisi 7



Judul : Norwegian Wood
Penulis : Haruki Murakami
Penerbit : Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008
Terbit : 2018
Tebal : 426 halaman

Kebenaran seperti apa pun, tidak mungkin bisa menyembuhkan kepedihan seseorang yang ditinggal mati kekasihnya. Kebenaran seperti apa pun, ketulusan seperti apa pun, kekuatan seperti apa pun, kelembutan seperti apa pun, tidak bisa menyembuhkan kepedihan itu. Kita hanya bisa merasakan kepedihan itu sedalam-dalamnya, dan dari situ kita mempelajari sesuatu dan sesuatu yang kita pelajari itu pun menjadi percuma di saat kita menghadapi kesedihan yang sekonyong-konyong muncul.

Latar yang sangat sendu tergambar dengan jelas dari kisah yang diguratkan oleh Haruki kali ini. Semua bermula dari ikatan persahabatan antara 3 manusia, 1 wanita dan 2 pria sejak kecil. Tidak ada ikatan persahabatan yang murni, begitu kata seorang bijak. Hal itu dibuktikan dalam buku ini yang akhirnya membuat ketiga sahabat tadi berkelindan dalam jalinan takdir yang rumit. Ialah Watanabe, Naoko, dan Kizuki. Naoko jatuh cinta pada Kizuki setelah mereka bersahabat selama 17 tahun. Begitu pula dengan Kizuki yang akhirnya menyatakan cintanya dan mendeklarasikan bahwa mereka berpacaran. Namun hubungan itu tidak bertahan lama lantaran Kizuki meninggal bunuh diri. Kisah Kizuki diceritakan dalam buku lain karya Haruki Murakami.

Hidup berlanjut. Naoko, gadis pecinta lagu Norwegian Wood karya The Beatles ini merasa kehilangan yang amat mendalam hingga membuatnya hampir hilang akal juga. Sungguh disayangkan, gadis secantik dan selembut Naoko akhirnya harus dirawat di sebuah panti kelainan jiwa yang sangat terpencil. Untungnya, Naoko didampingi oleh seorang wanita janda yang sangat baik dan dulunya merupakan salah satu penderita kelainan jiwa pasca kejadian traumatis bernama Reiko-san.

Watanabe yang selalu mendampingi Naoko karena merasa bertanggungjawab terhadap Kizuki malah menjadi jatuh cinta pada sahabatnya yang tersisa itu. Konflik batin runyam berlanjut. Walaupun Naoko juga terlihat nyaman bersama Watanabe, ia tetap tidak bisa melupakan Kizuki yang telah membuatnya menjadi setengah gila pasca kematiannya. Pergolakan batin antar tokoh sangat terasa dengan beban perasaan masing-masing.

Watanabe sendiri adalah seorang mahasiswa di universitas swasta jurusan sastra dan tinggal di sebuah asrama, pada awalnya. Ia selalu bertemu dengan orang-orang aneh seperti Kopasgat. Watanabe memang senang memperhatikan orang lain. Ia digambarkan sebagai sosok yang tidak terlalu maskulin, lembut, baik hati, namun sulit menghadapi wanita. Ia kemudian bertemu dengan antithesis Naoko dalam kelas kuliahnya, Midori.

Kisah ini berlatar tahun 60 an. Karakter Murakami adalah anak muda-anak muda yang merasa teralienasi dari kebudayaan dan perkembangan Jepang yang begitu pesat pada era 60-an. Di dalam buku ini, terlihat bahwa Haruki Murakami menyenangi musik dengan aliran pop, rock, folk, dan jazz. Kisah yang pelik dengan ikatan lagu The Beatles, Norwegian Wood, menjelaskan kepada kita bahwa rasa cinta itu abadi. Ia sulit dielakkan dan dilupakan. Walaupun objek yang kita cintai bisa saja menjadi fana ataupun tiada.

Akhir dari kisah ini sangat tidak tertebak. Walaupun konten novel ini seperti kebanyakan buku Haruki Murakami yang beralur cenderung monoton, Haruki tetap memiliki gaya khas bercerita yang membuat kita terlena dan seolah berada di dalam dunianya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1