Resensi Buku Edisi 8
Judul : Magna Carta: The Birth of Liberty
Penulis : Dan Jones
Penerbit : Viking, Penguin Random House LLC New York
Terbit : 2015
Tebal : 272+xii halaman
Penulis : Dan Jones
Penerbit : Viking, Penguin Random House LLC New York
Terbit : 2015
Tebal : 272+xii halaman
Lebih dari 800
tahun telah berlalu sejak dokumen ini pertama kali di sahkan, di bahwa
dahan-dahan pohon Runnymede, di hulu sungai Thames, dan dokumen ini menjadi
makin terkenal. Cukup aneh bukan? Bagi para pelajar, bahkan tidak asing dengan frasa
“Magna Carta” yang bersemayam abadi dalam pelajaran Kewarganegaraan atau Ilmu
Sosial sebagai dokumen tertua yang mengawali lahirnya perjuangan hak asasi
manusia.
Sungguh aneh.
Padahal, jika kita mencoba memahami Magna Carta, klausa-klausanya kering,
terlalu teknikal, dan secara konstitusional obsolut. Bagian yang paling sering
dikutip, pasal tentang “the right to justice before one’s peers, the freedom
from being unlawfully imprisoned, and the freedom of the Church”, pada tahu 1215
tidak hadir dalam maksud yang seringkali didefinisikan di zaman ini.
Pada zaman kerajaan,
menjadi hal yang lumrah untuk menggunakan kekuatan fisik dan militer untuk
menekan lawan atau musuh. Bentuk oligarki yang bersifat absolut, bahwa Raja
adalah perpanjangan tangan Tuhan yang titahnya bersifat wajib dan kekuasaannya
mutlak menjadi awal mula petaka yang berjalan hingga ribuan tahun. Bahkan
Gereja dan seisinya juga menjadi kekuasaan Raja. Magna Carta lahir pada masa
Raja John di kerajaan Inggris Raya. 800 tahun yang lalu, menjadi sejarah
penting bahwa untuk pertama kalinya, seorang raja didesak oleh pengikutnya,
oleh rakyatnya, untuk menandatangani sebuah dokumen yang menjadi tiket
kebebasan. Sebagai manusia yang merdeka.
Perjuangan
mendapatkan keadilan di dalam tempat tinggal sendiri bukan hal yang mudah Ketika
keadilan merupakan milik para elit. Kedamaian semu yang terlihat, pada zaman
itu bahkan keuangan kerajaan mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah
kerajaan yang seharusnya menjadi standar hidup nyaman, ternyata hanya
fatamorgana belaka. Infrastruktur memang membaik, kastil menjadi lebih megah, tentara
makin banyak dan panen makin melimpah. Tapi di baliknya, orang-orang menjerit
karena pajak yang tidak rasional. Raja yang berfoya-foya. Hak rakyat yang makin
kecil porsinya. Hutan kerajaan yang makin luas dan tidak bisa dinikmati
hasilnya oleh rakyat. Pengkhiatan Raja terhadap rakyatnya.
Semua hal itu
cukup menjadi alasan besar separuh pengikut kerajaan berbelot dan melawan.
Menyusun klausa yang jelas menekan kekuasaan Raja, yang tidak pernah terjadi
sebelumnya dalam sejarah mana pun. Beruntungnya, Raja John yang juga dikenal
sebagai “The Softsword” adalah seseorang yang akan mengutamakan negosiasi jika
kondisinya terdesak. Hal ini juga yang menyebabkan Kerajaan Inggris kehilangan
Normandy pada kekuasaanya, akhirnya menjadi milik kerajaan Perancis. Mengulang
sejarah yang sama, Raja John juga menggunakan negosiasi tatkala Kastil dan
Benteng London yang sangat kuat, dicintai, dan menjadi lumbung kesejahteraannya
diambil alih oleh para pemberontak.
Sayangnya, banyak
orang tidak tau kejadian setelah ditandanganinya perjanjian itu. Memang
kedamaian dan keadilan sempat berjalan beberapa waktu. Tapi tidak untuk waktu
yang lama. Raja John yang pada dasarnya memiliki watak keras dan emosi yang
sukar dikontrol akhirnya bertindak atas kemauannya. Mengembalikan keadaan
seperti sebelum adanya perjanjian itu. Kepada rezimnya yang sangat buruk. Namun
tragis, akhir hidup Raja John karena penyakit kronisnya tidak dapat
memperpanjang umur dan kebengisannya. Bahkan Raja John disemayamkan tidak
bersama keluarga kerajaan.
Setelahnya, berbagai
usaha terus diupayakan oleh mereka yang menginginkan Magna Carta kembali diterapkan,
namun dengan berbagai proses negosiasi dan perubahan yang disesuaikan dengan
zaman, situasi, dan kondisi kerajaan. Menariknya, semakin berjalannya waktu
dokumen ini malah menjadi semakin terkenal. Hingga akhirnya bisa tersebar hingga
benua Amerika dan menjadi dasar lahirnya “Declaration of Indepence” dan “Declaration
of Human Rights”.
Buku ini, menjelaskan
sejarah yang luput dari pelajaran sejarah, luput dari pemahaman orang banyak.
Diceritakan dengan Bahasa yang amat apik yang membuat pembaca lupa jika buku
ini bukanlah novel fiksi. Dari Buku ini kita bisa melihat bahwa benih demokrasi
telah hadir pada zaman ini. Bagaimana rakyat menyuarakan hak-haknya, membuat
sebuah aturan yang berasal, dari, oleh, dan untuk rakyat. Dari buku ini kita
bisa belajar bahwa menjadi seorang pemimpin harus memiliki beberapa sifat yang
sayangnya, hanya ada satu pemimpin yang bisa memiliki semua sifat baik
kepemimpinan. Dalam pandangan saya, hanyalah Rasulullah yang memenuhi kriteria
pemimpin terbaik sepanjang masa.
Setelah selesai
membaca buku ini, pertanyaan besar hadir dalam kepala saya. Apakah ada dokumen
lain yang menunjukkan bahwa perjuangan kemanusiaan hadir bahkan sebelum adanya
Magna Carta? Walaupun dalam buku ini dijelaskan beberapa waktu sebelumnya
sempat ada dokumen lain, namun tidak sekomprehensif perjanjian ini. Namun, saya
ingin mengkaji lebih jauh tentang dokumen kemanusiaan dalam perspektif lain.
Perspektif budaya Timur, bukan Barat. Dan mari kita lihat bagaimana hasilnya,
jika saya telah menemukan buku berikutnya.
Komentar
Posting Komentar