Pengabdian di Tanah Nusantara

KOLOM 1

Apakah kalian pernah membayangkan duduk di haluan kapal dengan semilir angin yang memainkan bulu mata dan berkibar bersama rambut atau untaian kerudungmu?

Apakah kalian pernah bermimpi pergi ke ujung dunia atau tempat antah berantah yang bahkan tidak ternyana oleh peta?

Atau, apakah kalian pernah merasakan penat yang luar biasa pada kehidupan dunia hingga ingin melarikan diri dari rutinitas yang menjemukan?

Jika ya, maka mungkin kisah ini adalah jawabannya, kawan.


Perjalanan Mencari Angin Senja

Aku bukanlah seseorang yang sanggup melihat ketidakadilan hadir di depan mata, atau singkatnya perselisihan antar kawan. Aku bukanlah seseorang yang sanggup menyakiti hati kawan jika tak dapat kupenuhi nyaman dan bahagianya. Utopis memang, tapi beginilah aku. Dalam sahara semu bernama angan yang dahulu pernah kutinggalkan karena begitu sakitnya kehilangan kepercayaan pada teman dan dikhianati hingga ditinggal sendiri. Aku benci sendiri. Maka jika ada damai, akan kukejar ke mana pun kata itu pergi. Walau sakit kupendam tapi dibersamai lebih berarti.

Konflik tiada henti yang saat itu melanda organisasi sungguh menyesakkan dada dan hampir membuatku lupa dunia. Makan tak enak tidur tak nyenyak. Perselisihan yang persis pernah kurasakan saat di bangku SMA akibat tahta yang sungguh, kawan, itu hanyalah kekuasaan semu yang tak pantas kau banggakan. Bedanya, kali ini aku bukanlah tokoh utama dalam permainan ini. Namun izinkan aku memperkenalkan sebagai tokoh yang bimbang gundah gulana akibat terjebak di dua elemen berbeda. Air dan api. Sebiru samudera dan semerah nyala mentari.

Ah, agaknya kisah itu hanya akan membuat pahit kenangan indah dalam perjalanan ini. Maka bolehkah aku menyimpannya untuk episode yang lain?

Kali ini, memang semua berawal dari penat yang timbul karena beban itu yang tak mampu kubagikan pada siapa pun. Karena aku tak ingin ada yang tersakiti. Maka di sisi lain, ambisi yang dimiliki harus direlakan. Walau dalam diam masih kupendam keinginan untuk ini dan itu. Begitulah sifat manusia, pantang merasa cukup.

Segala usaha sedang ku upayakan. Pada musim penghujan di bulan Maret dua tahun lalu, 2018. Lomba, beasiswa, organisasi, akademik, sedang dalam masa gairahnya sendiri sendiri. Beruntung, semua mengabarkan sendu di saat yang bersamaan. Membuat raga ini hanya mampu terduduk meratapi sambil menyumpah serapahi diri sendiri.

Masih terngiang sore-sore kelam itu, ketika lantai paling atas bangunan tertinggi di kampus dengan balkon yang tak seberapa menjadi tempat paling asik untuk bercengkrama berkabar dengan angin senja sepoi-sepoi berlatar matahari terbenam di ufuk barat. Terkadang angin menyampaikan ajakan untuk terbang bersama, mengantar sedih dan beban di angkasa tapi urung aku lakukan karena adzan menyambar sapaan usil itu.

Maka setelah Shalat Maghrib dijalankan aku kembali berjalan gontai menyelusuri jalan setapak menuju motor biruku yang terparkir nyaman sendirian. Kosong. Tatapan dan hatiku melompong mengikuti selaksa jalan membawaku pulang, ke rumah. Rasanya semua tatapan menghakimi, rasanya semua prasangka berujung pada kesimpulan "Aku tidak berguna, kenapa kamu masih di sini," rasanya jika menyejajari truk besar ingin kubelokkan motor itu menabraknya, mungkin akan menghilangkan perih di dada ini, pikirku.

Angin tetap menjadi sahabat terbaikku di waktu-waktu itu. Hingga di suatu sore yang tidak jelas, layar kaca berukuran 16 inch itu tiba-tiba menampilkan poster indah bergambar kapal phinisi dengan animasi. Isinya berupa ajakan untuk bergabung dalam sebuah pelayaran ke daerah yang sama sekali asing bagi otakku. Angin seolah membisikkan padaku untuk segera menyentuhnya dengan tikus elektrik di tangan kananku. Ia terbuka dan menunjukkan berbagai syarat yang harus kupenuhi. Tawaran tak berlangsung lama, maka tanpa pikir panjang aku segera mengisi kolom-kolom kosong di tautan berikutnya dan kukirimkan tanpa ragu. Satu titik cerah kembali di sudut hatiku. Ah, inikah harapan hidupku?

Izinkan Aku untuk Pergi, Wahai

Kepada pohon nan gadang dalam hutan belantara,
terima kasih sudah selalu tersenyum
terkadang hanya itu senjata kita menghadapi kejumudan,
dalam kondisi yang serba absurd ini... tertawalah,
hanya itu yang kita butuh...
selalu bersyukur.
Hati-hati di jalan. Kalau engkau melihat laut
ingat saja doa banyak orang menyertaimu
(April, 2018)

Surat-surat itu. Tumpukan kertas yang harus aku kumpulkan tak semudah yang ternyana di poster legendaris itu. Aku ingat, ada satu syarat yang sungguh berat sekali aku harus memintanya. Kuyakin berat pula dia yang akhirnya membubuhkan tanda tangan itu. Namun kekukuhan pendirianku dan sesak yang sudah di ubun-ubun membuatku pantang menyerah menghela segala kemungkinan terburuk. Semua agar aku tetap bisa berangkat.

Yang paling berat di antara yang berat itu adalah izin orang tuaku. Mereka tak pernah bertanya kehidupan kuliahku. Aku pun tak pernah repot-repot menjelaskan bagaimana hasil ujianku tiap IPK diumumkan. Tapi mereka khawatir, karena makin hari berat badanku makin tidak jelas. Muka tirus wajah kusut senyum mengkerut selaksa mendung menggelayuti dekat sekali dengan mukaku. Namun dalam hatiku pun merutuki ketidakpekaan mereka akan kondisiku dan entah bisikan siapa yang selalu membawa prasangka bahwa mereka tidak bangga sama sekali dengan apa yang telah aku capai hingga detik itu. Hanya butuh satu jentikan saja untuk membuatku kalap. Beruntung, akhirnya izin itu hadir dari ibunda yang paling paham raut wajah anak gadisnya tanpa bertanya banyak. Hanya ke mana, siapa penyelenggaranya, dan berapa lama.

Sepertinya izin ibunda menjadi bukti bahwa semesta mendukung momentum ini. Rupanya dari beberapa pendaftar aku dan 6 orang lainnya berhasil lolos dan akan diberangkatkan ke Pulau Sapeken, Sumenep, Jawa Timur.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1