Pengabdian di Tanah Nusantara
KOLOM 2
Terombang ambing di atas ombak
Melihat birunya laut dalam yang ternyata
Sekelam hatiku saat mengangkat tapak
Dari tanah lahirku
Mencoba mencari pelipur lara di tengah deburan
Hingar bingar temaram antrian orang
~
Ternyata tidak mudah meninggalkan saat kupikir pergi lebih baik daripada tercekat oleh rutinitas yang menjemukan. Akibat tak ditemukannya cahaya terang bahkan setelah berpuluh sujud ditekan ke dalam tanah. Akibat tak ditemukan jalan bahkan setelah beribu nasihat coba didengarkan. Akibat tak ditemukan harapan bahkan setelah beribu asa dilambungkan.
Hari keberangkatan kian dekat. Mau tak mau satu per satu amanah yang kutinggalkan harus diselesaikan terlebih dahulu, atau setidaknya meminta tenggat untuk menanti saat aku kembali. Nanti. Banyak yang akhirnya merelakan tapi ada juga yang tetap meminta pertimbangan ulang apakah keputusan itu tepat untuk meninggalkan. Akhirnya aku tetap keukeuh berangkat.
Hilang Keraguan, Siapkan Perjalanan
Hanya berbekal tas ransel kecil dan tas jinjing sederhana untuk membawa semua perlengkapan selama seminggu mengarungi laut Jawa. Aku bukan orang yang pusing memikirkan baju apa yang harus dipakai karena terbiasa hidup dalam kegiatan lapangan yang harus serba minimalis. Yah, sayangnya mental tersebut terkadang terbawa dalam kehidupan sehari-hari sehingga seolah memang tak pernah mempermasalahkan soal penampilan.
Tak lupa, seminggu sebelum kami bertemu tim yang akan menjalankan project bersama, telah ramai sebuah ruang percakapan terbentuk untuk membahas apa saja yang akan kami lakukan. Permasalahan apa yang akan kami hadapi di sana, dan solusi apa yang akan kami tawarkan kepada masyarakat. Sampai pada hal detil kriteria keberhasilan apa yang akan menjadi laporan pertanggungjawaban kegiatan ini.
Rasanya sudah seperti akan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sebuah selebrasi bagi mahasiswa yang katanya gemar terjun ke masyarakat sambil petantang petenteng membawa almamaternya. Gemar membuat program yang sangat komprehensif untuk dijalankan kurang lebih 60 hari di tempat pengabdiannya, dan katanya menjadi ajang mengangkat nama universitas masing-masing dengan hasil yang beragam. Namun aku sendiri hingga detik ini belum pernah menjalani KKN. Jadi, biarlah pengalaman ini akan menjadi cerita berharga soal pengabdian di Tanah Nusantara versiku.
Kami, para mahasiswa kedokteran yang terpilih dalam program gagasan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) bekerjasama dengan RS Terapung Kesatria Airlangga (RSTKA) milik UNAIR (Universitas Airlangga), terdiri dari 7 Srikandi Tangguh. Uniknya, tidak ada satu pun mahasiswa putra yang lolos, padahal ini sebuah ekspedisi. Tapi tak apa, izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dengan inisial masing-masing. Kak Mardha (Unair), Kak Lifia (UPN VJ), Kak Aina (UNUSA), Kak Marwa (UNS), Kak Niluh (Uncen), Vahira (UISU), saya sendiri. Canggung sudah pasti, karena belum pernah berinteraksi satu sama lain. Merasa minoritas, jelas karena yang muda sendiri (kedua termuda). Justru di kemudian waktu menambah semangat agar tak kalah dari segi keilmuan, inisiatif, dan ide dari para senior. Dinamika yang terjadi di dalam grup awalnya mengesalkan, membuatku dan Vahira harus sibuk sendiri dengan ini itu karena merasa sepemikiran soal sifat perfeksionis dalam tugas. Sampai pada satu kesimpulan, kami takut jika nantinya project tidak berjalan sesuai ekspektasi yang telah disusun.
Begitulah manusia, penuh ekpektasi. Prasangka yang menjerumuskan. Padahal betapa banyaknya aib kita yang ditutupi oleh Sang Pencipta hingga hanya harumnya yang tercium oleh orang lain. Sedang kita acap kali justru berlaku sebaliknya terhadap saudara-saudara kita. Membuat prasangka, mempergunjingkan, dan memberi label yang tidak jelas asalnya dari mana. Hingga suatu masa akhirnya kita pahami itu menyakiti. Maka banyaklah meminta maaf pada diri sendiri dan orang-orang karena prasangka itu mematikan.
Pada hari pertama bertemu di Surabaya, Jawa Timur. Kami memutuskan untuk menginap semalam di dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Bersama, menginap berempat. Aku, Vahira, Kak Marwa, dan Kak Lifia. Dan coba tebak, semua prasangka itu mau tak mau harus luluh lantak dalam satu pertemua saja. Sungguh, amat bersyukur ternyata dipertemukan dengan mereka semua dalam ekspedisi ini. Salah satu episode terepik dalam hidupku. Berkali-kali akan selalu kusebut demikian, maka maaf jika terdengar hiperbolik.
Kami memutuskan berkeliling Surabaya karena ternyata tak ada yang perlu dikoordinasikan selain kepastian waktu berangkat dan seremonial yang akan dilakukan tepat sebelum keberangkatan. Pembagian atribut kapal, perkenalan tim, dan pembagian susunan perjalanan, tentu saja. Kami pun baru diberi tahu bahwa kami hanyalah bagian kecil dari ekspedisi ini karena yang utama adalah tim dokter UNAIR dan RSUP Dr Soetomo. Selain itu juga terdapat tim Kesehatan Masyarakat UNAIR. Lebih kurang terdapat 40 orang dalam ekpedisi ini, termasuk ABK dan Sang Kapten.
Kami mengunjungi beberapa objek wisata yang cukup ikonik dan dekat dari penginapan, sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri antara kami berempat. Dari hari pertama tersebut, kami sepakat bahwa beberapa hal harus dilakukan dan beberapa hal harus direlakan agar tepat sasaran dan tujuan utama ekspedisi bisa tercapai. Kami juga bertukar profil diri hingga hal-hal yang menyangkut kebiasaan agar tak kaget saat di perjalanan. Dari sana juga, kemampuanku membaca orang cukup terbukti. Jelas masih dirahasiakan hingga sekarang, kecuali bagi kalian yang membaca kisah ini.
Bertemu Sang Biru-Putih
Nenek moyangku seorang pelaut~
Gemar meraung seluas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa~
30 April 2018.
Cuaca cerah, matahari terbit pada waktunya, awan cerah tak bergorombol, laut tenang, angin menyapa dengan lembut membasuh wajah, orang berkumpul di dermaga dengan wajah penasaran dan agak berdebar. Para wartawan sibuk berjajar menunggu pejabat hadir. Kaos putih seragam kapal menunjukkan para kru yang akan berangkat atau mereka dengan seragam polo biru yang hanya mengikuti seremonial saja. Tas punggung dan tas gunung besar dinaikkan ke atas kapal, berjejakan dimasukkan ke ruang yang nantinya akan jadi ruang operasi tapi pendinginnya sengaja dimatikan agar aki kapal tak boros. Mencoba berkenalan dengan goyangan kanan dan kiri kapal di atas ombak laut yang telah lama kulupakan karena memang moda transportasi yang paling jarang aku gunakan untuk bepergian. Terhitung, baru sekali dan ini yang kedua kalinya. Aku tidak memiliki riwayat mabuk perjalanan apa pun tapi semoga fisikku dapat bertahan.
Upacara dimulai. Tepuk tangan, nyanyian lagu Indonesia Raya, amanat pembina dan pesan kesan sebelum berangkat, diakhiri pemotongan pita kapal dan doa bersama terlaksana secara khidmat. Sesi foto-foto bersama dilakukan untuk dokumentasi sebelum perjalanan. Kami pun berkesempatan berfoto dengan Bapak Rektor UNAIR dan Dekan FK UNAIR. Ah, andai UGM juga punya program ekspedisi seperti ini, batinku. Tapi berbeda universitas jelas berbeda fokusnya. UGM juga memiliki ekspedisi namun berfokus pada penanganan bencana. Sedang UNAIR karena dekat dengan daerah Indonesia bagian Timur maka menginisiasi ekspedisi dengan RSTKA-nya yang memiliki semboyan "Mengarungi Samudera untuk Menyelamatkan Anak Bangsa".
Dalam upacara tersebut, akhirnya kami berkenalan dengan Ketua Yayasan RSTKA dr. Henry, Ketua Ekspedisi dr Agus dan dr Wiwin, dokter-dokter senior (yang tidak semuanya ikut dalam kapal yang sama, beberapa memilih kapal ekspres menuju Pulau Sapeken karena harus membawa alat praktik sendiri bersama tim), ABK, dan Kapten Mudatsir yang luar biasa. Dari mendengarkan cara beliau-beliau berpidato dan memperkenalkan diri, kami tahu bahwa mereka bukan orang biasa, bermental baja, berpikiran visioner, bersifat pemimpin dan pemimpi sejati, serta rendah hati.
Hampir pukul 10 Waktu Indonesia Tengah ketika acara di daratan ditutup, seluruh tim langsung naik ke atas kapal dan tanpa lama-lama lagi mesin dinyalakan. Lambaian tangan dikibas-kibaskan menemani kepergian kami, tiada henti hingga kapal tak terlihat lagi di horizon mata. Ada yang berlinang air mata karena ditinggal yang terkasih, atau hanya terharu saja kapal yang megah itu berlayar. Lagi. Karena rupanya ini bukan yang pertama kali, namun kali ini kapal membawa misi besar dan bersama berbagai orang baru yang belum pernah ikut ekspedisi, termasuk aku.
Setelah kapal melewati Patung Jalesveva Jayamahe (Di Laut Kita Jaya, semboyan Angkatan Laut) dan Jembatan Suramadu, maka resmi sudah kapal melempar sauh mengarungi Samudera. Entah apa yang menanti di depan. Entah pukul berapa akan sampai di tujuan. Entah hari apa kita bertemu penduduk lagi. Kini kunikmati angin sepoi-sepoi dan perubahan warna laut dari coklat kemudian menghijau lalu sempurna biru di geladak kapal sambil menghitung buih yang terhasil dari pecahan kapan mencium ombak. Lalu kurenungi kembali yang kutinggalkan, ada sedikit khawatir di sana.
Komentar
Posting Komentar