Pengabdian di Tanah Nusantara

 KOLOM 3

5 jam sebelum insiden

Angin sepoi-sepoi di buritan kapal. Menjelajahi tempat baru adalah hobi yang secara tak sadar sering kulakukan dengan maksud menilik kondisi dari berbagai sisi, berkenalan, dan mencari perspektif yang tak akan ditemukan orang. Aku gemar menjadi berbeda. Bertemulah aku dengan 2 ABK dan 1 dokter anestesi yang sedang asyik memancing ikan, dekat dengan dapur (sebenarnya posisi mereka dekat dengan singgasanaku menghitung buih ombak).

Saling berkenalan hingga curhat kesana kemari. Menyenangkan karena berkat mereka aku tidak kehilangan momentum menyaksikan kumpulan lumba-lumba berada dekat dengan kapal. Merinding sekali melihatnya, saking senang dan tak percaya. Kemudian berbagi cerita bagaimana tantangan menjadi dokter ahli anestesi dan pesan ultimatum beliau agar hendaknya seorang perempuan tidak menjadi ahli anestesi (karena katanya akan tidak memiliki kehidupan normal). Lalu berbagi cerita tentang tangkapan hari ini yang bisa digunakan untuk makan bersama malam hari.

Indah nian kehidupan di kapal dan laut Indonesia karena bahan makanan gratis, ikan melimpah dan amat menyenangkan dapat mengolah sesuatu yang amat segar. Lebih menarik lagi karena aku sama sekali tidak merasakan goncangan kapal, betul-betul tenang dan menenangkan. Seolah kapal dan laut adalah jawaban yang kunanti dari pencarian selama kepenatan dan kehilangan akal sudah di dekat raga.

1 jam sebelum insiden

Kami bersiap tidur di tempat masing-masing. Ada yang butuh udara dingin maka tidurlah ia di ruang operasi dek bawah, namun harus rela dengan aroma solar yang menyeruak kuat. Ada yang lebih tertarik mempelajari gemintang dengan peta digitalnya maka berbaringlah ia di dek atas tanpa atap hanya langit dan bintang, namun harus rela kedinginan diterpa angin laut. Ada yang bersiap dengan sterilisasi alat-alat medisnya maka bekerjalah ia di ruangan, namun harus rela menahan kantuk. Ada pula manusia-manusia aneh yang memilih mengalah maka memejamkan matalah ia di ruang operasi kecil, justru menurutnya adalah tempat ternyaman yang bisa ditemui.

5 menit sebelum insiden

Kekhawatiran itu terjawab. Laut tenang bersahabat sejak 15 jam terakhir tiba-tiba memunculkan Purnama indah sebesar matahari, berwarna merah-jingga selaksa senja. Aneh yang mendebarkan. Tiba-tiba terasa guncangan kapal mulai tidak wajar. Tapi aku yang pada dasarnya mudah terlelap di berbagai medan dan kondisi, tak terlalu mempermasalahkan lingkungan.

Barulah saat ombak memecah ujung kapal, aku terbangun. Dan amat terkaget karena kapal sudah dalam kondisi mati lampu, dan lebih menakutkan lagi karena menyadari bahwa lampu operasi yang sangat besar itu menggantung siap menjatuhkan diri di atas tubuhku. Sontak aku berteriak memanggil ABK dan meminta untuk mengikat lampu operasi. Kami segera keluar ke koridor dan ternyata gerakan kapal bukan lagi goyang. Tapi hampir terbalik, karena goncangan sudah lebih kurang 90o tegak lurus. Badai besar di luar.

Aku sempat mencoba hal konyol keluar dari ruangan kapal, naik menuju ruangan nahkoda karena mengkawatirkan teman-temanku yang tidur di atas. Rupanya mereka sudah berpindah semua dan justru aku yang hampir terlempar angin dan deburan ombak. Segera turun dan masuk adalah hal yang langsung kulakukan.

Kaget, karena di dalam kondisi porak-poranda. Banyak rekan yang mabuk laut dan akhirnya dokter yang ikut dalam kapal harus bertugas menginjeksikan obat anti mual dan penenang agar tidak memperkeruh suasana. Suram dan mencekam. Hanya bisa berdoa sembari membantu menenangkan mereka-mereka yang ketakutan dan mabuk laut.

5 jam pasca insiden

Ternyata aku sendiri ketiduran (dalam kondisi puncak, mungkin karena terlalu lelah). Saat bangun, ternyata kapal sudah merapat di dermaga (bukan tujuan) untuk singgah dan memperbaiki kipas mesin yang rusak akibat badai. 40 jam sudah terombang-ambing di atas kapal dengan kondisi 10 jam terakhir ternyata kapal bergerak hanya mengandalkan arus angin. Kapten kami luar biasa.

Ketika sampai di Pelabuhan Sapeken, masih dini hari. Tak ada upacara penyambutan. Yang ada hanyalah sapaan adzan shubuh menandakan daratan telah dapat kami pijaki. Alhamdulillah. Perjalanan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Perjalanan tentang pengabdian, pengorbanan, dan perjuangan dalam pelayanan kesehatan di pelosok Indonesia, Sapeken, Kabupaten Sumenep.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1