Resensi Buku Edisi 10
Judul Buku : Selamat Tinggal
Penulis :
Tere Liye
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Terbit :
2020
Tebal :
360 halaman
Karena sejatinya, kita tahu persis apakah kita memang benar-benar bahagia, baik, dan jujur. Sunggu “Selamat Tinggal” kepalsuan hidup
Kalimat
tersebut dituliskan di halaman belakang buku. Saya sendiri tidak memperhatikan
tulisan tersebut saat hendak membeli buku ini karena saya yakin buku tulisan
Tere Liye pasti tidak akan mengecewakan. Ketika saya telah selesai membacanya, dan
baru melihat langsung bagian belakang buku ini, membuat saya semakin yakin untuk
merekomendasikan kepada siapa pun yang hendak membeli buku, baik sudah direncanakan
atau baru sepintas membaca sampul belakangnya.
Buku
ini menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, di dalamnya memuat satire yang
diperankan sosok-sosok kontradiktif antara kehidupan yang mereka jalani dan
prinsip yang mereka ilhami. Tokoh utama kisah kali ini adalah Sintong, seorang
mahasiswa abadi, tujuh tahun berkuliah di Fakultas Sastra sebuah universitas
terkenal di Jakarta yang gemar menulis (bahkan kerap dimuat koran nasional),
mantan aktivis (pimpinan redaksi majalah kampus), dan penjaga toko buku
bajakan. Intrik di dalam hidupnya seputar urusan kuliah, cinta, dan prinsip
hidup yang harus berbenturan dengan kenyataan. Sangat menarik bagaimana urusan-urusan
tersebut ternyata runyam namun amat dekat dengan kita, bagaimana urusan cinta
yang kadang laksana monyet tapi serius betul mempengaruhi jalannya keseharian,
dan bagaimana kita berani melangkah untuk membuang masa lalu dan menjadi
pribadi yang lebih baik.
Tere
Liye juga menghadirkan tokoh fiktif, yaitu Sutan Pane, yang walaupun disebut
fiktif tapi kita tahu dia memang ada di dunia ini. Namun, kisah hidup Sutan
Pane yang dilukiskan dalam novel ini sepenuhnya fiksi, walaupun bisa jadi Tere
Liye memang terinspirasi dari jalan hidup beliau yang pernah memiliki
perusahaan percetakan buku dan bervisi hidup untuk menyediakan bahan bacaan murah
yang berkualitas untuk meningkatkan literasi masyarakat.
Sedikit
celah dalam novel ini adalah bagaimana akhir dari kisah tiap tokoh yang bersinggungan.
Bagian epilog hanya menjelaskan nasib Sintong yang akan merantau ke Negeri
Tulip, kosan Babe Na’im, dan Yayasan Sutan Pane. Tidak ada cerita lagi terkait Jess,
Bunga, dan Mawar. Termasuk bagian menarik saat salah satu tulisan opini Sintong
yang masuk koran nasional kemudian dibaca oleh narapidana yang katanya sedang meringkuk
tak berdaya, yang akan memicu episode lama (Halaman 221). Dapat saya
perkirakan, sepertinya buku ini akan terdapat sekuelnya atau bisa jadi akan
berhubungan dengan buku lain dari Tere Liye. Jelas, hanya penulis dan Tuhan
yang tahu.
Sebagai
penutup, saya akan kembali mengutip kalimat sampul belakang:
Selamat
membaca novel ini. Dan jika kamu telah tiba di halaman terakhirnya, merasa novel
ini menginspirasimu, maka kabarkan kepada teman, kerabat, keluarga lainnya.
Semoga inspirasinya menyebar luas.
Tambahan,
segera beli buku ini di toko buku resmi terdekatmu! Mari hargai penulis dengan
tidak membeli buku bajakan, atau mengunduh berkas gratisan dari grup media
sosial atau laman ilegal lainnya.
Komentar
Posting Komentar