Senyap yang Khusyu

    Telah berjalan kita di setengah bulan Ramadhan. Semua orang merindukan bulan suci ini, begitu pula aku. Bagaimana tidak? Segala hal yang diidamkan ada di sini, terutama kesempatan untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Memiliki. Merehatkan sejenak kehidupan duniawi dan menyelami oase langka yang kelak menghantarkan pada danau keabadian di akhirat.

    Namun, Ramadhan kali ini berbeda. Selain memasuki putaran tahun kedua pandemi, kehidupan mahasiswa profesi yang tidak sefleksibel saat preklinik/ kuliah S1 ternyata membuat tidak sedikit dari kami yang “keteteran”. Mulai dari jadwal sahur dan buka yang selalu mepet dengan jadwal masuk, padatnya jadwal harian, hingga berhujung pada kurang khusyuknya ibadah di bulan Ramadhan. Terindikasi dari episode mengantuk di shalat Tarawih yang tak terhitung, dan absensi kajian yang sering bolongnya.

    Barangkali, di ujung pembaca tulisan ini, ada yang merasakan hal yang sama. Marilah kita berhimpun dan memohon ampunan-Nya atas lemahnya diri dalam mengatur waktu dan beradaptasi dengan cobaan. Tapi biarlah hal ini menjadi pengingat yang baik, bahwa kelak bisa jadi kehidupan seperti ini yang akan dijalani setiap hari. Siapa yang tahu pasti.

    Rasa takut dan gamang itu terpampang nyata. Apalagi dengan kesempatan shalat berjamaah di masjid yang saat ini lebih terbuka luas, menyadari bahwa Shubuh pun harus direlakan munfarid untuk mengejar jadwal visit. Curi-curi waktu agar dapat shalat tepat waktu di tengah riuhnya pinset dan kauter silih berganti dengan suction pun harus diberanikan, agar pahala yang diperlombakan ini tidak terbuang sia-sia.

Momen Spesial

    Hari itu, ada yang spesial. Ketika ramai bergumul dengan massa di dalam tubuh seorang pasien, dengan khusyu’nya duduk dekat kepala pasien, dengan baju scrub dan satu tangan memegang balon nafas bertumpu mesin anestesi, dokter itu ternyata tidak membuka gawai layaknya residen lain yang berjaga. Beliau asik dengan kitab seukuran notes kecil, yang muat satu juz saja. Tapi sungguh, beliau mampu untuk bertadarrus di ruang operasi! Bukan main, takjubnya diri melihat residen tersebut. Bagaimana tidak, sebagai koas yang sudah melewati stase anestesi dan tahu bagaimana beban kerja dan padatnya jadwal residen-residen tersebut, ternyata begini cara mereka memanfaatkan waktu. Kejadian itu membuat diri tertampar telak di dalam dinginnya dan riuhnya ruang operasi. Apalagi terkadang, ada pula mereka yang sempat memutar lagu favorit mereka, namun hei, ternyata ada yang mampu memutar lagu dan lirik kesayangan Sang Ilahi.

    Sepulang dari operasi yang memakan waktu sekitar 9 jam itu, membuat banyak berfikir dan berkontemplasi bahwa ada banyak cara untuk mengisi waktu luang, dan bukan kemustahilan untuk tidak dapat mendekatkan diri pada-Nya.

    Hal yang lebih luar biasa lagi ternyata ditemukan pada kesempatan kedua. Ruang operasi berbeda. Residen yang berbeda. Waktu yang berbeda. Kali ini operasi dimulai setelah shalat Jumat. Waktu yang terlalu sore untuk memulai operasi dengan open heart surgery. Ruang yang kelewat dingin dan lembab (karena harus disesuaikan agar jaringan tidak mudah ditempeli microbiota penyebab infeksi pasca operasi), baju yang walaupun sudah lengan panjang ditambah kerudung tetap tak mampu melawan hawa yang menusuk (melebihi di puncak gunung), kaki yang kesemutan tak bisa (lebih tepatnya tak berani) duduk, perut yang melilit karena memasuki waktu krusial mendekati jam berbuka menambah lezatnya cobaan kala itu. Karena sadar kalau kesempatan masuk ke ruang operasi yang layaknya dunia Star Wars itu tak selamanya, maka berkelilinglah diri ini melihat sekitar. Tamparan kedua itu hadir dari pojok meja, lagi-lagi, residen anestesi. Pukul 16.30, waktu yang sangat apik, nyaman, dan didambakan. Beliau membaca mushafnya dengan seksama, tanpa mengganggu siapa-siapa, tapi tanpa sadar membuatku terpaku padanya. Sungguh, aku iri.

    Tanpa kita nyana, saat ini adalah malam Nuzulul Qur’an. Malam turunnya Al-Quran pertama kali kepada kekasih kita semua, Nabi Muhammad SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita memaknai Ramahdan kali ini? Bagaimana Nuzulul Quran disambut? Sudah sejauh mana kecintaan pada Al Quran itu hadir? Sejauh mana kedekatan dan kemesraan kita dengan Al Quran itu terjadi? Apakah melebihi lantunan music di playlist spotifymu? Apakah sudah melebihi dzikir pagi dan petang “Slide Mantap” mu? Atau sudah melebihi ketakutanmu akan mood dosen pembimbing yang layaknya roller coaster? Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat terutama bagi penulis, untuk mengejar. Mari saling berkejaran di akhir Ramadhan ini. Tak ada yang bisa menjamin kapan kita bersua. Kapan menemukan oase langka ini lagi. Kalau mereka bisa, kita pasti lebih bisa. Barakallahulakum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1