Resensi Buku Edisi 12

 Judul Buku          : Burung-Burung Manyar

Penulis                 : Y.B Mangunwijaya

Penerbit                : Kompas 

Terbit                    : Agustus 2021 (cetakan kedelapan)

Tebal                     : 406 + x halaman


"Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani. Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infuse drah baru bagi bangsa inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan revolusi bersenjata dulu itu."

Namanya Teto. Ia adalah putra dari Kapitein Brajabasuki (Belanda totok) dan Maminya yang keturunan Indo (Solo) melahirkan kepribadian yang menarik nan penuh intrik karena ketercampuran dua darah tersebut. Teto yang uniknya suka menjadi anak kolong meski putra prajurit, gemar bermain dengan teman-teman kampungnya dan berlagak jadi prajurit kancil. Main di kolong sungai daerah Magelang dan justru lebih enggan kalau harus bertata krama dan necis khas penduduk negeri kincir angin.

Teto tak pernah ke Belanda. Hidupnya selamanya di Indo dan karena Maminya keturunan Kraton Solo akhirnya mempertemukan dia dengan si cantik prenjak Atik Larasati. Pecinta burung sejak kecil karena ayahnya yang seorang ilmuan biologi sedang ibunya, Bu Antasena si lemah lembut penyelamat Teto kelak kemudian hari.

Awalnya novel ini, seperti tertera di sampulnya, adalah sebuah Roman. Penuh lika liku perjuangan dan dinamika seputar zaman kemerdekaan. Belanda yang kehilangan power sebagai "pengatur" tanah Indo, Jepang yang masuk dan kebiadabannya yang rupanya jauh lebih menyeramkan dan merugikan banyak pihak, kaum inlander atau pribumi yang berusaha bangkit dan merebut kemerdekaannya.

Teto yang harus digempur cobaan bertubi-tubi, dengan terculiknya ayahnya hingga diasingkan tanpa tau di mana keberadaannya hingga dianggap sudah mati. Lalu Maminya yang terpaksa kena jebakan Jepang dan menjadi gundik hanya supaya tahu suaminya masih selamat. Menyisakan Teto di atas seutas tali yang melintang di tengah jurang. Rusak sudah masa mudanya, menjadi bejat dan bergabung dengan KNIL hanya untuk balas dendam jadi pilihannya. Karena masuk KNIL, mau tak mau harus berpisah jalan dengan Atik yang kemudian menjadi antek revolusi kemerdekaan Republik Indonesia.

Perjalanan hidup kedua sejoli ini layaknya gabungan roman dalam Norwegian Wood karya Haruki Murakami dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Buya HAMKA. Memang kental akan roman yang tragis, tapi bedanya kisah ini diakhiri dengan sesuatu yang kuat. Gagasan akan kebanggaan, jati diri dan bahasa citra yang digambarkan oleh sosok burung manyar. Penuh kebanggaan, besar hati, dan keikhlasan demi memperjuangkan sesuatu yang lebih besar. Yakni pada hakikatnya mencinta untuk generasi masa depan. Sebuah sintesis yang penuh romansa, romantis, dan epik.

Bisa dibilang alurnya cukup lambat, bahkan mungkin ada satu plot yang agak mengganggu tapi sebenarnya memang terkait dengan kisah tiap tokohnya. Membaca buku ini layaknya sebuah diary. Diary anak kolong bernama Teto. Tapi memang pada dasarnya gaya sastra orang kuno Indonesia tak syak lagi untuk diacungi jempol dan berbagai bukti bahwa buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan berbagai penghargaan menjadikannya buku yang patut dibaca kaum muda. Agar kisah romannya tak lagi picisan, tapi penuh makna dan penghayatan nilai-nilai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1