Resensi Buku Edisi 13

Judul Buku           : 21 Lesson for The 21st Century

Penulis                 : Yuval Noah Harari

Penerbit               : Globalindo

Terbit                   : September 2018 (Cetakan I)

Tebal                    : 392 halaman


Meski buku ini digandrungi banyak orang, nyatanya saya tidak terlalu menikmati saaat membacanya. Buku ini merupakan trilogi terakhir dari rangkaian Sapiens dan Homo Deus, yang sudah banyak dikenal dan menjadi favorit banyak insan.

Saya tertarik dengan judul yang Yuval sajikan, memuat janji tentang bagaimana dapat bertahan hidup dalam abad 21 dengan berbagai perubahan serba cepat dan dinamis serta tak terprediksi. Bahkan, ketakutan-ketakutan yang dibentuk dari diri seseorang ataupun kesenangan yang dialami, menurutnya, hanyalah produk dari sistem yang mungkin selama ini tidak kita ketahui. Karena nyatanya, apa yang kita ketahui lebih sedikit dari yang tidak. Apalagi di era post truth yang makin menjadikan segala bentuk informasi bias, di satu sisi juga mematikan bagi mereka yang tak mampu memilah dan mengolahnya.

Sayang, di sebagian besar isi buku, Yuval mengajak para pembaca untuk meninggalkan peran agama dan menjadi masyarakat sekuler. Meski, sudah dijelaskan bahwa sekuler yang dimaksudnya seperti apa, saya tidak bisa sepakat dengan pendapat Yuval. Menurut saya, agama yang dipraktikkan dengan benar akan lebih memberikan jawaban atas ketidakpastian hidup dan pencarian hidup yang tidak pernah berhenti.

Menurut Yuval, cara mencari makna hidup terbaik adalah dengan melihat ke dalam diri kita, dan mengakui bahwa sejatinya hidup itu tidak perlu bermakna. Bahwa sejatinya keabadian itu tidak perlu ada. Ketika melihat dunia tidak bermakna maka seseorang tidak perlu memiliki sesuatu atau berperang untuk mendapatkan sesuatu. Tapi justru, ketika kita kehilangan makna hidup, maka kita rentan mengalami kekosongan dan hal ini yang banyak terjadi pada mereka yang depresi hingga bunuh diri.

Saya percaya, bahwa peran agama masih dibutuhkan meski dalam abad ke 21. Meski banyak fanatisme menjalar tapi jika kita tilik, mereka bergerak tanpa mengerti esensi beragama. Atau dalam bahasa kami sebagai Muslim adalah taqlid. Dalam beragama, dalam membaca kitab suci (yang menurut Yuval semuanya sudah pasti diciptakan oleh manusia dengan berbagai cerita fiktif yang menjadi kekuatan manusia dari zaman ke zaman), harus dilandasi dengan ilmu. Dan sebelum berilmu, penting untuk memiliki adab.

Akibat banyak hal yang tidak bisa saya sepakati dari isi buku ini, akhirnya sangat lama untuk saya dapat mengakhiri membacanya. Bagi sebagian orang, mungkin mudah untuk langsung meninggalkan sebuah buku yang dibaca namun kurang mengena di hati mereka. Namun, saya adalah tipe orang yang berusaha mengakhiri apa yang sudah saya mulai, suka tidak suka. Jadi, meski lebih dari sebulan saya butuhkan untuk membaca buku ini, akhirnya saya sampai di halaman terbelakangnya.

Banyak poin bagus yang bisa diambil, meski lebih banyak yang tidak bisa saya amini. Bagi yang penasaran, silakan membaca, bisa jadi Anda punya perspektif sendiri. Saya punya prinsip dan Yuval juga punya prinsip. Cukup menarik akhirnya di tahun 2022 bisa menemukan buku yang tidak saya senangi. Selamat membaca :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1