Di Tengah Rintih Hujan

Ara si periang, Ara yang suka melamun tapi bukan dengan angan kosong, Ia gemar berkontemplasi kalau kata sastrawan. Ara yang suka berlagak pahlawan dan berprinsip. Ara yang tak suka jika harus duduk diam di rumah saja, minimal dalam sehari harus keluar satu kali saja. Ara yang pemilih. Dan ini cerita tentang  Tasara, dia senang dipanggil Ara.

Pagi itu langit mendung. Tapi bukan langit di angkasa raya. Melainkan langit di rumahnya yang tertutup awan menggelayut dengan semburat berwarna kelabu pertanda hujan badai segera turun. Biasanya, sebelum hujan membasahi bumi, panas tak ternyana terasa amat. Lembab dan keringat bercampur dengan hentakan iklim yang tiba-tiba meningkat suhunya, berusaha mengumpulkan tensi hingga saling diam jadi solusi. Tapi ini perang dingin!

Satu orang bicara, maka hujan akan turun basah disertai kilat guntur dan sejenisnya. Maka kita harus diam!

Tapi diam juga bukan solusi dari petaka yang berkelindan. Tapi bicara juga harus dicari saatnya. Di tengah mendung kelabu begini, baiknya yang di tepian yang bicara. Karena gemuruh kecilnya tidak akan memicu hujan di tengah kelibatan simpang dan siur suara.

Dan Ara memilih untuk pergi.

Layaknya petarung kalah sebelum bertanding, entah akibat berat badan tak masuk kelasnya atau tekanan darah di atas batas akibat lari keliling kompleks untuk menurunkan berat badan agar masuk kelas. Ironi. Dan Ara adalah bagian dari hal itu. Lari dia masuk ke telungkup bantalnya di kasurnya. Memendam rasa agar hujan tak jadi turun. Biar dia yang menyerap semua air yang sudah teruap. Biar nanti dibantu angin yang dirindukannya akan sampai kabar pada entah siapa yang bisa mendengar. Mau mendengar. Dan siap mendengar. Karena angin tak butuh pertanda. Cara paling cepat dan ampuh meneruskan pesan, pikir Ara selama ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edisi 6

Resensi Buku Edisi 1