Perburuan Mencari Cahaya
Dua sekawan itu berjalan di bawah rintikan air hujan yang turun dengan lambat dengan tas ransel di punggung dan telepon genggam di tangan salah satunya. Berkali-kali suara lembut keluar dari alat tersebut menunjukkan arah mana yang harus dituju mengikuti peta digital di dalamya. Sudah lebih dari 30 menit mereka berjalan menyusuri lika-liku aspal Kaohsiung, kota yang letaknya lebih Selatan dari Tainan (yang artinya area Selatan Taiwan). Setelah hampir menyerah karena tak kunjung bertemu destinasi yang diharapkan. Akhirnya tampak bangunan hijau tua yang amat dirindukan kedua sekawan itu yang kini menjadi minoritas di tanah asing.
Lebih kurang
lima tahun yang lalu, yakni pada bulan Juli 2019 kami berkesempatan mengikuti
program “Summer Course” di National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan.
Bagiku itu merupakan pengalaman pertama menjejakkan kaki keluar negeri. Awalnya
rasa sedih dan senang harus campur aduk menjadi satu lantaran sadar bahwa
sebuah janji kecil itu terlanggar dariku. Janji untuk tidak bertualang ke
negeri lain sebelum genap mengarungi negeri sendiri. Di sisi lain, sangat tidak
menyangka jika rupanya berkesempatan ke negara yang hanya pernah kudengar
namanya saja dari tanteku karena pernah bekerja di sana.
Saat itu akhir
pekan, waktu yang tepat bagi siapa pun untuk menikmati kota atau mencoba
berbagai kuliner khas saudara negeri tirai bambu itu. Sayangnya opsi kedua
tidak bisa sembarangan kami ambil lantaran di Taiwan mudah sekali bertemu
daging babi sebagai santapan sehari-hari sedangkan kami, sebagai seorang muslim
pantang mendekatinya. Alhasil pilihan pertama yang kami ambil. Namun itu juga
bukan perkara mudah lantaran tidak terlalu mengenal daerah tersebut, kesulitan
Bahasa yang tentunya menjadi nomor satu, serta uang saku yang pas-pasan.
Kesempatan yang sempit nan berharga itu tentu tak boleh disia-siakan. Akhirnya
terbersit satu tempat yang menurutku harus dicoba untuk dikunjungi. Masjid
Kaohsiung. Salah satu masjid terbesar di Taiwan yang letaknya tidak terlalu
jauh dari tempat kami tinggal.
Awalnya kami
ikut bersama dengan rombongan teman-teman kuliah yang juga akan mengunjungi
Kaohsiung di akhir pekan. Ada yang berasal dari Taiwan, Thailand, dan Amerika.
Sudah jelas jika destinasi mereka bukan seperti kami, tapi karena ada warga
lokal yang bisa menjelaskan rute ke sana jadi kami ikut dalam rombongan. Kami
berpisah di tengah jalan karena kereta yang kami gunakan berbeda dengan mereka
walaupun tujuan kotanya sama. Aku dan temanku, Prad, kami dua perempuan di
tanah asing mencoba peruntungan mencari Rumah Allah di tanah antah berantah.
Stasiun terakhir
tempat kami berhenti sangat sepi. Ketika keluar dari bawah tanah pun tidak
tampak hilir mudik orang-orang. Kami mulai menyalakan peta digital dan
mengikuti arah yang ditunjukkan. Tak terlalu jauh, hanya sekitar 500 meter
menurutnya. Awalnya Prad ragu untuk mengikuti ideku tapi aku bersikukuh ingin
mengunjungi masjid dan shalat di dalamnya, mendengarkan adzan yang sudah
seminggu ini amat kurindukan. Walaupun kami tidak bisa baca tulis dan bicara
Bahasa Cina, gawai kami telah dilengkapi aplikasi yang mampu menerjemahkan
berbagai kebutuhan itu hanya dengan kamera atau bicara langsung padanya.
Jantung kami
berdebar-debar. Awan mendung berarak seolah melingkupi perjalanan kami terus
menerus, padahal kami tidak membawa payung (lebih tepatnya aku yang tidak
membawa payung, padahal sudah dikatakan berkali-kali bahwa musim panas di
Taiwan justru kerap hujan). Kami juga tak kunjung menemukan Masjid itu sampai
kami harus berpindah ruas jalan berkali-kali dan dalam hati memaki ponsel
jangan jangan dia menunjukkan arah yang salah. Selang 15 menit berputar-putar
dan hampir putus asa, perut lapar dan kaki sudah terlanjur lelah berjalan
(padahal banyak taksi yang menawarkan jasanya tapi jelas harganya tidak ramah
di kantong kami) akhirnya kami menemukannya. Masjid hijau tua yang berdiri
megah dan di sebelahnya ada warung Indonesia! Betapa rasanya rumah itu sangat
dekat tapi ujian mencapainya saja menyadarkan kami agar bersabar sedikit.
Langsung kami
masuk dan mencari tempat wudhu-nya. Membasuh wajah, lengan, kaki, dan menikmati
ubin yang sejuk dan langit-langit bangunan yang sangat tinggi sehingga
menimbulkan kesan luas. Lengang. Tidak ada siapa pun di ruang shalat, hanya
kami berdua saja. Segera kami tunaikan shalat Dhuhur dan Ashar dijamak karena
waktu yang kami punya tidak banyak. Sadar bahwa jarak yang perlu kami tempuh
tidak singkat sedangkan adzan Ashar masih cukup lama. Kami berguling di sajadah
selepas shalat, menikmati ornamen di dalam masjid, mencoba duduk di kursi dan
meja kecil tempat (menurut kami) para anak-anak belajar mengaji atau belajar
agama. Setelah puas (lebih tepatnya menyadari waktu yang berjalan sangat cepat)
kami segera turun dan bergegas akan pergi. Tapi kami bertemu dengan seorang
perempuan cantik berhijab dan bermata sipit khas penduduk lokal. Kami tanyakan
beberapa hal tentang masjid dan mendapatkan cerita singkat bahwa masjid itu
juga menampung para muallaf (rupanya sekarang jumlah muslim di Taiwan terus
meningkat) dan di lantai bawah ada ruang besar tempat berkumpul para imigran
dan penghuni masjid. Sayangnya kami tak cukup nyali untuk membuka ruangan besar
itu karena merasa bukan hak kami ikut makan di sana. Kami memilih mencoba
warung Indonesia di sebelahnya.
Warung Indonesia
itu dijaga oleh orang Indonesia pula dan menjajakan barang-barang Indonesia.
Sungguh sebuah keajaiban bisa bertemu toko semacam itu. Kami mencoba mengitari
toko, melihat barang-barang yang dijual dan sangat terkejut betapa mahal
harganya. Kami membeli dua mangkuk bakso sapi (halal) dan dimsum ayam (akhirnya
bisa mencobanya karena di semua restoran pasti mengandung babi, padahal makanan
ini sangat khas dan salah satu menu yang harus dicoba di Taiwan), serta dua
gelas es teh. Walau rasanya tidak seluar biasa bakso favorit kami di Indonesia,
kerinduan akan jajanan kantin kampus pun terobati.
Yang tak
disangka selanjutnya justru pertemuan dengan perempuan itu. Headset di
leher, topi putih, jaket dan celana jeans, kaos polos, rambut sebahu dan senyum
yang mengembang serta suara renyahnya. Kami kaget saat makan malah disapa
olehnya. Dia adalah TKI yang bekerja di Tainan dan sedang bermain di Kaohsiung,
seperti kami. Dia bertanya dari mana asal kami, apa yang kami lakukan di
Taiwan, berapa lama di Taiwan, sudah mencoba apa saja, dan hal-hal lain yang
terus mengalir laksana kawan yang sudah lama tak bertemu. Padahal itu adalah
pertemuan pertama kami. Di akhir percakapan, kami bertukar kontak dan dia
menawarkan untuk berkunjung ke rumah tempatnya bekerja pada esok Minggu dan
bertemu teman-temannya. Perpisahan kami ditutup dengan oleh-oleh susu bendera sachet
untuk masing-masing kami berdua (sepertia dia sadar sedari tadi kami melirik
barang itu tapi karena harganya tidak manusiawi akhirnya tidak kami beli).
Setelah makan kami lalu kembali melanjutkan perjalanan menjemput rombongan yang
tadi bersama ke Kaohsiung untuk kembali ke Tainan.
Keesokan hari
kami melihat cuaca di sekitar asrama mahasiswa amat kelabu. Ada desas desus
badai akan melanda. Kabarnya, jika badai melanda maka dapat bertahan hingga
beberapa hari. Aku ingat betul dengan undangan kemarin tapi di sisi lain ragu
untuk keluar. Alhamdulillah, dalam beberapa jam matahari menampakkan
wujudnya pertanda badai batal datang. Lagi-lagi aku dan Prad memulai
petualangan kedua kami. Kali ini di kota kami berada, Tainan. Ransel dan gawai
telah dipersiapkan sejak semalam.
Kami disarankan
untuk naik taksi dari asrama karena tidak ada moda transportasi lainnya untuk
menuju ke rumah mbak Inggrit. Kami sempat berpikir untuk nekat jalan kaki tapi
melihat cuaca yang cukup buruk lalu mengiyakan saran tersebut. Selama di dalam
taksi kami hanya bisa gigit jari sambil berhitung kemungkinan terburuk nominal
yang terpampang di layar argometer. Hari-hari hanya makan buah potong untuk
makan pagi dan malam pun terbayang, tapi tak apa karena kami yakin bisa
melewatinya.
Rumah mbak
Inggrit sangat jauh di pinggir kota Tainan, masih banyak sawah dan mobil tua
yang berjejer di sana. Walaupun dekat dengan taman kota tapi karena cuaca buruk
tidak ada orang yang mau mencari sial di sana. Mereka memilih bergulung selimut
dan menikmati cokelat panas di dalam rumah masing-masing. Hanya kami berdua
yang berjalan mencari rumah mbak Inggrit. Setelah turun tepat di titik
pemberhentian yang sudah dibagikan mbak Inggrit ke ponsel kami, langsung
disambut dengan dua orang mbak Inggrit yang sangat cerewet. Rasanya seperti
hari-hari biasa di Indonesia. Kami langsung diajak berjalan menyusuri berbagai
toko dan ditraktir boba (minuman teh susu dengan bubble dari tepung
tapioka yang merupakan khas Taiwan, dan ternyata sekarang menjadi trend di
Indonesia, Xin Fu Tang atau Tiger Sugar). Lalu kami diajak berbelanja beberapa
sayur dan buah tanpa tahu akan diapakan bahan-bahan tersebut. Baru setelah
selesai berbelanja kami mengunjungi rumah mbak Inggrit.
Mbak Inggrit
menjadi TKI yang bekerja sebagai asisten rumah tangga orang yang sangat tua.
Hal ini lumrah di Taiwan karena biasanya anak-anaknya menjadi super sibuk
dengan pekerjaannya dan tidak sempat mengurus kedua orangtuanya. Daripada
memasukkan ke panti jompo lebih baik menyewa asisten rumah tangga yang mampu
mengurus keduanya sekaligus rumahnya. Rata-rata orang Taiwan tinggal di
apartemen karena lahan yang terbatas sedang jumlah penduduk berlimpah. Mbak
Inggrit tinggal bersama kakek dan nenek yang sudah sangat tua namun terbuka dan
senang jika kedatangan tamu, berbeda dengan kedua temannya yang memiliki orang
tua rewel.
Ketika tiba,
kami disuguhi tebu beku dari kulkas. Jujur, ini pertama kalinya bagiku makan
tebu langsung bukan diperas dan diambil airnya saja. Sungguh rasanya sangat
enak melebihi es sirup. Haha, cukup ndeso ya. Lalu kami masak bersama
dan makan bersama, berlima di belakang rumah (di tempat jemuran). Kami makan
layaknya orang Indonesia. Beralas daun, nasi menjadi satu, lauk dan sambal
disusun sedemikian rupa, tanpa alat makan alias dengan tangan. Nikmat sekali.
Kami lalu saling bercerita pengalaman masing-masing. Selesai makan, kami
merapikan sisa makanan dan membersihkan tempat seperti sedia kala. Tak terasa
matahari sudah mulai turun ke horizon.
Kami sangat
bersyukur bertemu dengan mbak Inggrit dan kawan-kawannya, mendengar betapa
beratnya perjuangan hidup dan bekerja di negeri orang. Tapi mereka bahagia.
Apalagi saat kedatangan teman baru dari Indonesia seperti sekarang. Mereka
berpesan jika bertemu orang Indonesia di mana pun di Taiwan, sapalah mereka,
itu sudah menjadi obat bagi mereka apalagi jika sedang rindu pada keluarga.
Saat mau pulang,
kami masih dibekali dengan berbagai lauk pauk yang sungguh menjawab
kekhawatiran kami karena uang makan kami sudah habis untuk ongkos taksi. Alhamdulillah.
Kami berpelukan sangat lama hingga enggan rasanya untuk berpisah tapi kami
berjanji untuk tetap terhubung melalui media sosial masing-masing.
Kami kembali ke
asrama namun tidak memakai taksi. Kami mencoba peruntungan dengan bus lokal
yang harganya sangat murah apalagi untuk pelajar. Kami mencoba membaca jalur
bus di tempat tunggu, memutuskan bahwa bus yang kami ingin naiki pasti akan
berhenti di sana dan tinggal menunggu saja. Tapi lama sekali bus tidak kunjung
muncul. Kalaupun muncul justru ke arah sebaliknya atau tidak sesuai jalurnya.
Kami bingung dan tak tahu harus bertanya kepada siapa. Salah seorang calon
penumpang yang menunggu di halte yang sama ternyata tidak bisa berbahasa
Inggris sedang kami hanya bisa bicara xie-xie dan ni hao ma~.
Kami juga tidak tahu caranya memanggil taksi karena di sana area pedesaan dan
pinggir kota. Jika harus berjalan maka akan memakan waktu sekitar 2-3 jam dan
itu tidak mungkin melihat cuaca yang makin mendung juga.
Tiba-tiba,
mungkin karena melihat wajah asing kami dan raut kebingungan yang terpampang
jelas (hampir putus asa dan menangis) ada seorang pria dengan rompi pegawai
listrik mendatangi kami dan menunjukkan gawainya. Awalnya kami tidak paham apa
maksud beliau, kami saling membalas dengan isyarat gerakan tubuh. Aku coba
mendengarkan kalimat yang berusaha diucapkannya dengan Bahasa Taiwan dan aku
menangkap kata “Indonesia”! Langsung serta merta aku menganggukkan kepala dan
kemudian dia menujukkan ponselnya dan dengan isyarat menyuruh kami berbicara
pada ponselnya. Ternyata itu alat terjemahan dan kami segera bertanya jalur bus
mana menuju asrama kami. Rasanya sesak di dada itu langsung pulih, udara yang
tak cukup mengisi sesak tiba-tiba kembali sepenuhnya dan kami bersyukur
sejadi-jadinya pada Allah yang telah mengirimkan malaikat penyelamat kami.
Akhirnya kami dapat pulang ke asrama dan melanjutkan kuliah musim panas kami
hingga waktu berakhir.
Kisah ini
kutulis setelah membaca kisah Buya Hamka yang secara acak muncul di telepon
genggamku. Kisah beliau yang tidak menemukan pelacur di Amerika sedangkan
seorang bertanya padanya karena bertemu pelacur di Makkah.
“Kita ini memang
hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari. Meskipun kita ke Mekkah,
tetapi jika yang diburu oleh hati adalah hal-hal buruk, maka setan dari
golongan jin dan manusia akan berusaha membantu kita untuk mendapatkannya…”
Kami mencari
ilmu dan hikmah di negeri antah berantah. Kami mencari kebaikan di antara orang
yang katanya tidak percaya adanya Tuhan. Kami mencari rumah Allah di belahan
bumi di mana Islam adalah kaum minoritas. Kami mencari kawan baru, saudara
baru, keluarga baru dan. Dan kami mendapatkan semua itu dalam episode yang
tidak kami sangka.
Komentar
Posting Komentar